Skip to main content

Tentang hari itu...

Jiwa pejuangnya yang bergelora, dilandasi gagasan-gagasan kebajikan yang hampir paling bijaksana, namun amat keliru, telah secara langsung melukai proyeksi langkah-langkah masa depannya yang amat sangat jauh.

Bahkan, dengan hipotesa multi-juta dimensi, tidak mampu untuk membuat rekaan dari rancangan-rancangannya sedikit saja lebih masuk akal.

Kahlil Gibran—di salah satu prosa-nya, pernah menulis; Kehidupan adalah sebuah pulau, batu karang adalah hasratnya, pepohonan adalah mimpi-mimpinya, dan bunga-bungaan adalah kesunyiannya, dan pulau ini berada di tengah lautan kesendirian dan keterasingan.

Sosok pengasuh dan pembimbing yang tengah duduk di seberang sana, dengan rokok kretek hampir habis menyisakan sepertiga batang di sela-sela jari-jarinya, nampaknya sangat memahami keterbukaan dari bentrokan yang saat ini tengah melepaskan seluruh gairahnya ke atmosfer, dengannya terbawa sebercak kecanggungan yang dalamnya melebihi Palung Mariana.

Terlihat dari kulit dahinya yang kini sedikit mengkerut dan mulutnya yang bersenandung tidak jelas akan nada apa yang sedang ia senandungkan, berupaya sangat keras untuk memecah kecanggungan yang kian makin terasa menembus benteng pertahanan yang selama ini meliputi hati di dalam dadanya.

Dan pandangan sayu matanya itu, yang selalu di alihkan tanpa pernah diberi kesempatan dan keberanian untuk menatap langsung, mencerminkan ketakutan yang luar biasa—yang terpancar dari dalam jiwanya yang sedang sangat kewalahaan menghadapi kesendirian dan keterasingan di tengah-tengah lautan ini.

Dengan prinsip-prinsip paling kaku tertancap dalam jantungnya, meninggalkan malapetaka tertunda di setiap jejak langkah-langkah kakinya, tanpa pernah ia sadari—hampir selalu memanifestasikan ad hominem kepada setiap pribadi yang di ajaknya untuk bersenda.

Di tengah-tengah kesendirian dan keterasingan lautan tersebut, jari-jari runcing yang jahat seringkali melontarkan api-api kesombongan ke arahnya, kian mengikis sisa-sisa gelora yang nampaknya semakin redup, namun tak pernah padam itu.

Selalu ditempatkanya fasad tameng berwujud sikap acuh tak acuh, berkat cara befikir non-pragmatis yang ia tekuni di hampir keseluruhan hembusan nafasnya—meskipun dapat sejenak melipur kesendirian tersebut, telah berhasil merenggut apa yang sepatutnya ia jadikan alas kaki dalam perjalanan suci menuju kejayaan yang abadi.

Dengan terpotongnya duapertiga lengan kanan, yang selama ini ia kiblatkan untuk mendefinisikan seluruh aspek kemanusiaannya, turut andil dalam ironi kekalahan pertarungan kasat mata dengan sang maha alam semesta.

Luka di kaki kirinya yang tak kunjung pulih, akibat langkahnya yang satu langkah terlalu banyak, dalam baktinya menolong sosok seorang panglima perang berhati busuk yang telah melontarkan sebuah hinaan yang paling hina satu detik setelah ego nya terluka—

..menyeretnya lagi dan lagi kedalam neraka kekelaman abadi dengan tatapan tajam jahanam selalu berbayang di setiap lelap mata sayunya.


“Apakah disana sangat sepi?”

Tanya seorang anak kecil tanpa alas kaki berpakaian lusuh, dengan lubang leher bajunya yang sudah terlalu longar, dan jatuh sebagian ke tangan kirinya memperlihatkan sebuah luka sayatan di lengan kiri anak tersebut—di tengah-tengah padang rumput yang di kelilingi hutan dan gunung, dan beberapa pohon kering yang tampaknya sudah hampir mati.

Di tangan kanannya, anak kecil tersebut memegang sebuah sangkar burung kosong berwarna hitam kecil, dengan sedikit bercak samar berwarna merah di bagian atap nya dan beberapa jeruji kayunya yang telah patah.

Sembari menatap anak kecil itu dengan mata sayunya, beberapa tetes air mata pun tak mampu ia bendung lagi, jatuh ke rerumputan hijau di bawahnya, yang nampaknya sudah hidup lebih lama menempati padang rumput tempat mereka kini berdiri berhadapan, lalu ia terduduk lemas dan tak berdaya.

Dengan suara bergetar sendu membawa bayang-bayang—menghidupkan kembali kilasan kisah cerita hidupnya, seakan-akan sudah tiada lagi tabir yang menutupi ketelanjangan jasad manusia yang kini tertampar oleh pertanyaan polos dari anak kecil yang lusuh—ia menjawab.

“Duduklah sini nak, duduk di pangkuanku, pangkuan yang pernah memangku sosok kesatria, akan kuceritakan kemana saja jiwa ini pernah mengembara.”

Dengan mata polos yang berbinar-binar, anak kecil itu dengan penuh kebahagiaan duduk di pangkuannya, sambil tak henti-hentinya menatap dengan penuh senyuman surgawi.


Tahukah engkau nak, menanam bunga melati di tanah yang sudah gersang hanya akan membunuh tanaman bunga tersebut? bahkan ketika kau sudah menyiraminya setiap hari. Air itu mungkin akan lebih berharga jika kau berikan kepada orang-orang yang tengah kehausan.

Tahukah engkau nak, etude dari gemuruh sungai di bawah sana, kicauan burung-burung berterbangan, dan detak jantung seluruh makhluk hidup itu adalah simfoni alam semesta yang abadi?

Tahukah engkau nak, bahwa segala hal di dunia ini, pada akhirnya nanti akan kehilangan keelokanya? yang tersisa hanyalah kenangan-kenangan di ujung jari-jari yang keriput dan mata yang sayu itu.

Tahukah engkau nak, cerita-cerita sandiwara di dunia ini begitu lucu dan di saat yang bersamaan begitu melelahkan?

Selesai.


Di depan jukung berwarna jingga yang menyusur pantai, di hadapan ombak yang biru tak jelas, di antara rumput langka dan karang kering, manusia—ya, sang perupa—merasa, bahwa benda-benda yang tak hendak berlagak itu ternyata bersikeras mengelak dari kehendaknya.

Tuhan & hal-hal yang tak selesai oleh Goenawan Mohamad.


Catatan:

Esai fiksi ini merupakan eksplorasi linguistik sastrawi dengan penggunaan media Bahasa Indonesia, setiap tokoh, tempat, cerita, konflik dan lainnya hanya fiksi belaka dan tidak tertuju kepada pribadi tertentu.

Esai ini mencoba dibingkai menggunakan sudut pandang dan gaya penulisan beberapa tokoh dan penulis besar, seperti Kahlil Gibran, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Virginia Woolf, dan James Joyce, ketidak-konsistenan dalam gaya penulisan dan transisi puitis yang tidak halus merupakan murni kekeliruan dari saya pribadi.

Esai ini merupakan salah satu dari sekian banyak bagian trial & error saya pribadi sendiri dalam proses mengembangkan kemampuan literary saya dan mencoba menuangkan konklusi dari pikiran-pikiran yang terlintas sesaat.